Kain Pantai Mojolaban: Tradisi yang Tetap Bertahan di Tengah Perubahan
Di bawah terik matahari yang menyengat, hamparan kain warna-warni terbentang rapi di pinggir Sungai Bengawan Solo. Pemandangan ini menjadi ciri khas Desa Krajan, Kecamatan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Setiap hari, para pekerja kain pantai sibuk menjemur hasil produksi mereka, menciptakan nuansa kehidupan yang penuh semangat.
Desa Krajan, yang berada tidak jauh dari pusat Kota Solo, telah lama dikenal sebagai sentra industri kain pantai. Proses produksinya yang masih dilakukan secara manual membuat usaha ini menarik perhatian banyak orang. Kain-kain sepanjang 30 hingga 35 meter dan lebar sekitar 90 cm dijemur berjajar di tepi sungai. Mereka memanfaatkan panas matahari sebagai bagian dari proses pengeringan pewarna.
Pewarnaan dan pengeringan merupakan tahapan penting dalam menghasilkan motif cerah dan tahan lama yang menjadi ciri khas kain pantai dari Mojolaban. Triadi (42), seorang karyawan yang sudah bekerja di industri ini selama dua dekade, menjelaskan bahwa pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya.
“Saya sudah kerja di sini 20 tahun. Dari mulai nyetak motif, nyelup warna, sampai jemur kain, semua masih dilakukan dengan cara tradisional,” ujarnya. Di pabrik kecil tempat Triadi bekerja, ada sekitar 25 orang karyawan yang setiap hari bergelut dengan proses pewarnaan dan pengeringan.
Mereka bekerja dengan ketekunan tinggi, menjaga mutu hasil produksi agar tetap diminati pasar. “Kalau musim penghujan kami hanya produksi kain paling tidak 120 kain. Kalau musim panas seperti ini hari ini tadi 200 kain dengan panjang 30 meter sampai 35 meter,” tambahnya.
Triadi menjelaskan bahwa usaha kain seperti ini dipengaruhi oleh pergantian musim. Meski demikian, ia mengaku hanya 20 persen saja pengaruhnya. “Penjemuran matahari yang bagus itu menurut saya pukul 09.00-12.00 WIB. Karena di atas jam 12 sampai sore itu panas yang dihasilkan tidak sempurna,” papar Triadi.
Tak hanya itu, kain pantai Mojolaban ternyata sudah menjadi langganan negara tetangga dan hingga saat ini pun masih berjalan. “Biasanya kalau lokal itu di Pangandaran dan Bali. Kalau yang ekspor itu Malaysia sampai Timur Tengah, masih berjalan,” terangnya.
Lebih lanjut, Triadi mengungkapkan bahwa pabrik kain pantai ini berjalan sudah sejak tahun 1997 dengan produk yang sama dan belum pernah berubah. Ini menunjukkan betapa kuatnya komitmen masyarakat desa untuk menjaga warisan budaya dan tradisi yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Proses produksi yang masih menggunakan metode tradisional membuktikan bahwa kain pantai Mojolaban tidak hanya sekadar produk, tetapi juga representasi dari kearifan lokal yang terus bertahan. Dengan kualitas yang tetap terjaga dan permintaan yang stabil, industri ini terus berkontribusi dalam perekonomian daerah dan menjaga identitas budaya yang unik.