Kehilangan yang Mendalam di TNI AU
Kabar duka datang dari TNI Angkatan Udara. Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto, mantan penerbang tempur F-16, meninggal dunia setelah mengalami kecelakaan saat menerbangkan pesawat latih microlight milik Federasi Aero Sport Indonesia (FASI), pada hari Minggu (3/8/2025) pagi, di Ciampea, Bogor.
Kecelakaan terjadi sekitar pukul 09.00 WIB, beberapa menit setelah pesawat dengan nomor registrasi PK-S216 lepas landas dari Lanud Atang Sendjaja, Bogor. Pesawat sempat berputar rendah di atas Desa Benteng sebelum akhirnya jatuh menghantam tanah tak jauh dari area pemakaman umum.
Seorang saksi mata, Enjat Sudrajat, mengungkapkan bahwa ia melihat pesawat itu miring dan mencoba naik lagi, namun tiba-tiba jatuh. Pihak TNI AU memastikan bahwa pesawat dalam kondisi laik terbang. “Pesawatnya bagus, sebelum terbang dicek, bagus,” ujar Kepala Dinas Penerangan TNI AU, Marsma I Nyoman Suadnyana.
Memori Heroik di Insiden Bawean 2003
Kabar duka ini membangkitkan kembali peristiwa penting dalam sejarah udara Indonesia, yaitu Insiden Bawean 2003. Saat itu, Kapten Fajar Adriyanto menjadi pilot F-16 Falcon 1 bersama Kapten Ian yang secara langsung berhadapan dengan dua jet tempur F/A-18 Hornet milik Angkatan Laut AS yang melanggar wilayah udara Indonesia.
Dalam situasi yang nyaris konfrontatif, Fajar tetap tenang. Dengan dukungan Falcon 2 yang dikendalikan Kapten Tonny dan Kapten Satriyo, manuver berbahaya dilakukan untuk mencegah pelanggaran kedaulatan tanpa menyalakan api konflik.
“Falcon 1 kala itu berada dalam formasi terkunci, F-18 Amerika sudah mengambil posisi menyerang,” ungkap pengamat pertahanan, Iwan Septiawan. “Tapi Fajar dan tim tampil profesional, menunjukkan bahwa langit Indonesia tidak bisa disepelekan.”
Aksi mereka tidak hanya mengamankan udara Bawean, tapi juga memperlihatkan kelas TNI AU dalam diplomasi udara. Insiden itu diselesaikan secara diplomatik, dan hingga kini dikenang sebagai momen ikonik keberanian tanpa letusan peluru.
Kontribusi dalam Komunikasi Strategis TNI AU
Selain menjadi penerbang hebat, Marsma Fajar juga dikenal sebagai arsitek komunikasi strategis TNI AU. Saat menjabat Kepala Dinas Penerangan TNI AU, ia menciptakan platform Airmen AU yang membuat Angkatan Udara lebih transparan dan dekat dengan publik melalui media sosial, siaran radio, hingga edukasi pertahanan.
Ia juga aktif membina Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI) dan menjadi inisiator film patriotik “Srigala Langit”, yang mengangkat kisah pengabdian para penerbang tempur. Lulusan Akademi Angkatan Udara 1992 ini dikenal sebagai pemimpin hangat, rendah hati, namun tegas.
“Beliau bukan hanya senior, tapi mentor dan inspirator,” kata Iwan Septiawan.
Kronologi Singkat Insiden Bawean 2003
- Radar sipil-militer di Bali mendeteksi pergerakan pesawat asing tanpa izin di wilayah udara Indonesia.
- Pesawat tersebut terbang di ketinggian 15.000–35.000 kaki dengan kecepatan 450 knot, dan tidak berkomunikasi dengan ATC lokal.
- TNI AU mengirim dua F-16 dari Lanud Iswahjudi, masing-masing diawaki oleh:
- TS-1602: Mohamad Tony Harjono & M. Satrio Utomo
- TS-1603: Ian Fuady & Fajar Adriyanto (callsign: Red Wolf)
- Terjadi penguncian radar dan manuver elektronik antara F-16 dan F/A-18 selama beberapa menit, namun tidak sampai pada kontak senjata.
Karier Militer Marsma Fajar di TNI AU
Marsma Fajar Adriyanto memiliki karier yang sangat mengesankan di TNI AU:
- Penerbang tempur F-16 Fighting Falcon
- Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispenau) (2019–2020)
- Kapuspotdirga dan Aspotdirga Kaskoopsudnas
- Kapoksahli Kodiklatau sejak Desember 2024
Kehilangan Marsma Fajar adalah kerugian besar bagi TNI AU dan bangsa Indonesia. Ia tidak hanya seorang penerbang hebat, tetapi juga sosok yang memberikan kontribusi besar dalam diplomasi udara dan komunikasi strategis.