Kekerasan Terhadap Massa Aksi Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia
Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengkritik tindakan kepolisian yang dinilai tidak proporsional saat membubarkan aksi peringatan Hari Anti-Perdagangan Orang Sedunia yang berlangsung pada 1 Agustus 2025. Demonstrasi ini digelar di depan Kementerian Perhubungan dan Kementerian Koordinator Politik dan Keamanan, namun dianggap sebagai bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Para aktivis yang hadir di lokasi menyatakan bahwa polisi melakukan kekerasan verbal dan fisik terhadap peserta aksi. Mereka menilai tindakan tersebut sangat serius dan harus ditindaklanjuti dengan pengusutan yang mendalam. Dalam pernyataan sikap mereka, para organisasi meminta pihak berwenang untuk segera menindaklanjuti kasus ini agar tidak terulang kembali.
Koalisi yang terdiri dari 95 organisasi seperti Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI), Greenpeace Indonesia, dan Sumatera Environmental Initiative (SEI) turut serta dalam aksi bersama. Mereka ditemani oleh buruh migran penyintas perdagangan orang. Di antara peserta aksi juga terdapat banyak aktivis perempuan yang kemudian menjadi korban kekerasan fisik dan verbal oleh petugas kepolisian.
Dari laporan yang diterima, kepolisian yang terlibat dalam pembubaran aksi ini semuanya adalah laki-laki. Hal ini menimbulkan kekhawatiran akan adanya diskriminasi dan ketidakadilan dalam penanganan demonstrasi. Oleh karena itu, para organisasi menyerukan agar Kepala Kepolisian Republik Indonesia segera mengambil tindakan tegas terhadap personel yang terlibat dalam kekerasan tersebut, khususnya terhadap massa aksi perempuan.
Selain itu, mereka juga meminta Polri untuk mengadili secara etik para personel yang melakukan pelecehan fisik dan verbal. Para organisasi menyarankan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) untuk ikut serta dalam proses pengusutan kasus ini.
Aksi Demo yang Dibubarkan Secara Paksa
Demo yang digelar pada Jumat pagi, 1 Agustus 2025, awalnya direncanakan di depan Gedung Kemenhub dan Kemenko Polhukam. Namun, peserta aksi dibubarkan secara paksa oleh petugas kepolisian. Sebanyak 60 orang yang terlibat dalam aksi ini terdiri dari anggota SBMI, Greenpeace Indonesia, SEI, serta perwakilan korban perdagangan orang.
Massa aksi tiba di depan Gedung Kemenhub pada pagi hari. Saat tiba, mereka diminta untuk bergeser ke belakang gedung. Namun, karena situasi yang tidak kondusif, peserta memutuskan untuk melanjutkan demo di depan Gedung Kemenko Polhukam. Sayangnya, di tempat tersebut mereka juga dibubarkan paksa oleh petugas.
“Di Gedung Polhukam kami juga dibubarkan paksa oleh petugas, jadi kami geser ke sini,” ujar Koordinator Media Kampanye Serikat Buruh Indonesia, Kirana, di depan Monas, Jakarta Pusat.
Dari pantauan Tempo, saat pembubaran, terjadi saling dorong antara massa dan polisi. Akibatnya, beberapa peserta aksi mengalami luka-luka karena jatuh saat saling dorong. Meski demikian, mereka tetap menjalankan demonstrasi di dekat Monas.
Permintaan kepada Pemerintah
Dalam aksi ini, massa mendesak pemerintah untuk menjalankan mandat Perpres Nomor 49 tahun 2023 tentang pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang secara konkret. Mereka meminta Menko Polhukam Yusril Ihza Mahendra selaku Ketua Gugus Tugas memastikan efektivitas pencegahan, penegakan hukum, dan pelindungan menyeluruh untuk semua warga negara termasuk bagi semua pekerja migran Indonesia yang menjadi korban perdagangan orang.
Selain itu, mereka juga meminta Kemenhub untuk mematuhi Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan bahwa pelaut migran adalah pekerja migran serta pertanggungjawaban atas pengabaian kewajiban hukum soal transisi perizinan perusahaan penempatan awak kapal perikanan migran. Hingga saat ini, pemerintah belum melaksanakan hasil putusan tersebut sehingga menyebabkan praktik perekrutan pelaut tidak akuntabel dan rentan eksploitasi.
“Pemerintah terutama dalam hal ini Kemenhub patut diduga melakukan perbuatan melawan hukum jika terus mempertahankan atau melahirkan kebijakan baru yang bertentangan dengan putusan MK terkait,” ujar Kirana.